Selasa, 29 Maret 2011
Pemetaan Bisnis Proses Psikoterapi Dalam Design Awal Sistem Informasi
© Kasus Pertama : Phobia Hewan (zoophobia) – Ulat bulu
a. Pendekatan rapport
Terapis berusaha untuk membuat klien nyaman dengan memulai pertanyaan-pertanyaan luas dan umum seperti menanyai nama klien, kondisi klien saat itu apakah klien dalam kondisi dengan kesehatan yang baik atau tidak ataupun pertanyaan tentang minat atau hobi klien. Klien juga diberi bahan-bahan bacaan seperti komik dan novel agar tidak membuat klien menjadi jenuh.
b. Menggali informasi subjek
Kemudian terapis melanjutkan pertanyaan tentang alasan klien menemui terapis. Jika klien telah mengemukakan bahwa ia takut akan ulat bulu, maka terapis dapat memulai pertanyaan-pertanyaan terbuka secara mendalam tentang rasa takut yang dihadapinya yang tersusun dalam pedoman wawancara serta recorder untuk merekam informasi yang dikatakan subjek, seperti menanyakan salah satunya, “bagaimana perasaan kamu ketika di depan kamu ada ulat bulu, apa yang akan kamu lakukan?”.
c. Menentukan therapi
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari klien tentang rasa takutnya terhadap ulat bulu. Maka klien dapat di kategoriknan bahwa ia mengalami Zoophobia, dimana ketika klien menghadapi stimulus (ulat bulu) ia akan menyadari bahwa ketakutannya tidak rasional, tetapi ia tetap merasakan bahwa munculnya kecemasan hanya dapat diredakan apabila ia dapat menghindarnya. Maka dalam kasus ini, klien dapat dibantu melalui Prosedur Desentisasi Sistematis yang didahului dengan Hierarki Kecemasan.
d. Melaksanakan therapi
Terapis membutuhkan ruangan yang nyaman dan tidak bising. Kemudian terapis membantu klien menyusun suatu hierarki dari mendengar cerita mengenai ulat bulu (ringan) sampai dengan ketika klien menghadapi ulat bulu tersebut (berat). Maka setelah hierarki tersusun, prosedur desentisasi dimulai. Klien duduk dengan mata tertutup di kursi yang nyaman dengan terapis menguraikan situasi yang tidak membuatnya begitu mencemaskan. Jika klien dapat membayangkan dirinya berada dalam situasi tersebut tanpa adanya ketegangan otot yang meningkat, terapis akan melanjutkan hal atau situasi lain yang sudah tersusun dalm hierarki. Jika klien mengalami kecemasan pada saat membayangkan suatu situasi dengan tingkat tertentu, maka klien dilatih untuk mengkonsentrasikan pada situasi rileks, sehingga dengan melakukannya berkali-kali kecemasan klien akan dapat dinetralkan.
e. Ealuasi
Evaluasi dilakukan ketika tahap pelaksanaan terapi berakhir. Maka terapis dapat mengutarakan kepada klien melalui record yang telah dicatat sebelumnya oleh terapis mengenai kemajuan apa saja yang klien telah capai dan hal apa saja yang harus diperbaiki klien.
Evaluasi dilakukan dalam tahapan yang sistematis, seperti berikut :
* Harapan awal dari terapi yaitu klien tidak merasakan ketakutan yang irasional terhadap ulat bulu
* Saat terapi dilakukan, klien mengalami kecemasan ketika mencapai tahap tertentu, terapis mencoba memperhadapkan klien dengan ulat bulu. Maka terapis berusaha membuat klien berkonsentrasi pada situasi rileks, sehingga kecemasan klien netral.
* Setelah terapi berakhir, maka klien diharapkan untuk dapat menyesuaikan dirinya di luar situasi terapi dan klien dapat menaklukan rasa takutnya pada ulat bulu.
© Kasus Kedua : Anoreksia Nervousa (Gangguan makan untuk menjadi kurus)
a. Pendekatan rapport
Pertama–tama klien diajak oleh terapis berbincang-bincang tentang perjalanannya sampai bisa tiba di biro psikologi. Misalnya dengan bertanya: “Bagaimana perjalanan Anda? Apakah menyenangkan? Tadi kena macet ga?”
b. Menggali informasi subjek
Terapis melanjutkan pertanyaan tentang alasan klien menemui terapis. Jika klien telah mengemukakan bahwa ia mengalami gangguan makan yang berlebihan karena ingin tetap langsing dan seksi namun ia setelah makan langsung memuntahkannnya kembali agar badannya tetap langsing, maka terapis dapat memulai pertanyaan-pertanyaan terbuka secara mendalam tentang anoreksia nervousa yang dihadapinya dan tersusun dalam pedoman wawancara serta recorder untuk merekam informasi yang dikatakan klien, seperti menanyakan salah satunya, “bagaimana saat kamu menahan lapar atau sengaja memuntahkan makanan agar tubuh kamu tetap kurus?”.
c. Menentukan terapi
Untuk kasus anoreksia nervousa ini, terapi yang cocok untuk klien adalah:
* Psikoterapi suportif-ekspresif dinamik yaitu salah satu bentuk terapi dimana klien di support untuk lebih mencintai tubuh aslinya dan lebih ke arah meyakinkan klien untuk tetap berada atau lebih menerima tubuh aslinya.
* Terapi strategi kognitif dan interpersonal digunakan untuk menggali masalah lain yang berhubungan dengan gangguan.
* Terapi keluarga digunakan untuk memeriksa interaksi di antara keluarga dan kemungkinan tujuan sekunder dari gangguan tersebut bagi klien.
d. Melaksanakan terapi
Terapi dapat dilaksanakan di biro layanan psikologi dalam hal ini biro layanan psikologi yang mempunyai dokter ahli untuk menangani hal terapi dan dapat juga dilaksanakan di rumah klien (terapi keluarga).
e. Evaluasi
Evaluasi dilakukan setiap terapi telah dilakukan. Evaluasi sangat penting dalam mengetahui kemajuan dari terapi yang telah dilaksanakan oleh klien dan untuk kelanjutan terapi nantinya bila masih diperlukan.
© Kasus Ketiga : Gangguan Depresi
a. Pendekatan rapport
terapis membangun Rapport yaitu teknik yang bertujuan untuk membuat pendekatan dan hubungan yang baik dengan klien agar selama proses terapi dapat berlangsung dengan lancar. Mengawali percakapan “ Ada yang bisa saya bantu?” Memperkenalkan diri, Basa – basi awal, bisa dengan menanyakan identitas, kabar, Mempersiapkan aturan main (peran, kerahasiaan, waktu dan tujuan pertemuan) serta mengemukakan apa yang akan terjadi selama terapi berlangsung, aturan-aturan yang akan dilakukan terapi dan diharapkan dari klien, kontrak terapeutik (tujuan, harapan, kapan, dimana, lama, keterbatasan, dll).
b. Menggali informasi subjek
Berdasarkan Rapport akan diketahui apa yang menjadi masalah klien, klien menceritakan masalah (ada komitmen untuk mengkomunikasikan). Kemudian terapis berusaha untuk menggali informasi dari klien mengenai gangguan yang dialaminya melalui metode wawancara dan observasi dengan menggunakan alat perekam, dapat berupa voice recorder ataupun video camera recorder. Identifikasi masalah merupakan upaya menentukan inti dari masalah yang dihadapi oleh klien. Mengadakan pendataan masalah dan mencari tahu latar belakang terjadinya masalah. Tanyakan semua berdasarkan kacamata klien, terutama alasan yang membuat klien mendatangi terapis. Terapis menanyakan mengenai apa yang menjadi penyebab atau melatarbelakangi gangguan itu, sejak kapan klien merasa dia telah mengalami gangguan tersebut, sampai sejauh mana gangguan itu dirasakan oleh klien, dan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami situasi tersebut. Dalam identifikasi masalah kita berusaha memahami apa yang dialami klien dan mencari kesulitan masalah yang dihadapi klien. Kemudian identifikasi tersebut digunakan sebagai dasar untuk menegakkan diagnosa atau mengambil kesimpulan untuk menentukan jenis terapi yang tepat.
c. Menentukan terapi
Depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya maka hal itu disebut sebagai suatu Gangguan Depresi. Beberapa gejala Gangguan Depresi adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat dan semangat, malas beraktivitas, dan gangguan pola tidur. Depresi merupakan salah satu penyebab utama kejadian bunuh diri. Depresi terjadi akibat pikiran negatif yang muncul secara konstan. Pikiran-pikiran ini muncul secara otomatis. Artinya, pikiran ini muncul tanpa didasari usaha yang dilakukan secara sadar.
Berdasarkan informasi yang telah didapatkan mengenai Depresi, terapi yang dapat digunakan untuk menangani gangguan ini, yaitu dengan terapi kognitif. Dalam terapi tersebut, klien belajar bagaimana cara menyadari dan memperbaiki pikiran-pikiran negatif yang otomatis ini. Seiring waktu, klien akan bisa menemukan dan memperbaiki keyakinan-keyakin salah yang memicu depresinya.
d. Melaksanakan terapi
Terapi dengan menggunakan terapi kognitif dilakukan dengan berbagai tahapan. Dalam terapi ini, klien akan diajak untuk memecahkan masalah-masalah menjadi beberapa bagian seperti yang disebutkan di atas. Sekali klien bisa memecahkan masalah menjadi bagian-bagian tersebut, maka masalah yang kelihatannya begitu kuat tanpa pemecahan akan bisa ditangani.
Sepanjang mengikuti terapi, terapis akan mengajarkan dan mengenalkan kepada klien alat-alat yang digunakan dalam terapi. Kemudian, diantara sesi, klien akan diminta mengerjakan tugas tertentu. Tugas ini akan membantu klien mempelajari cara menggunakan peralatan dalam memecahkan masalah tertentu dalam kehidupan. Klien akan membuat perubahan kecil dalam hal pola pikir dan tingkah laku mereka setiap hari. Kemudian, seiring waktu, perubahan-perubahan kecil ini akan memicu perbaikan mood dan penampilan yang akan bertahan selamanya.
e. Evaluasi
Tahap evaluasi mencoba memberi interpretasi atas informasi yang diperoleh sebagai bahan untuk tahap selanjutnya, yaitu perubahan sikap dan perilaku klien. Evaluasi dapat dilihat berdasarkan record dari klien sebelumnya dan kemajuan apa yang terjadi setelah klien melakukan terapi. Harapan awal : terapi berhasil atau klien dapat menghilangkan depresi. Setelah dilakukan terapi, subjek dapat mengurangi perilaku-perilaku yang menunjukkan tanda-tanda depresi.
Visit to my web all about info mig33 and others on mig-info.us
Selasa, 01 Maret 2011
Peranan Teknologi Informasi Dalam Dunia Profesi Psikologi
Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari segala bentuk perilaku manusia dan proses mentalnya, sedangkan psikolog merupakan orang yang membantu mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan perilaku manusia berdasarkan teori-teori psikologi yang dipegangnya dan menginterpretasikan hasil dari tes-tes psikologi. Oleh sebab itu, sebagai psikolog, komunikasi merupakan hal yang sangat penting. Selain untuk berinteraksi dengan subjek atau klien, komunikasi pun dalam dunia psikologi dapat memahami perilaku subjek yang tampak.
Teknologi informasi merupakan suatu istilah umum yang menjelaskan teknologi apa pun yang membantu manusia dalam membuat, mengubah, menyimpan, mengomunikasikan dan/atau menyebarkan informasi. Teknologi informasi pun bekerjasama dengan disiplin ilmu lain, dengan teknologi informasi secara psikologis membantu manusia nyaman dalam melakukan pekerjaannya. Teknologi informasi menjadi fokus perhatian untuk menghasilkan informasi yang berkualitas dan membantu manusia dalam aktivitasnya sehingga banyak sarana atau alat-alat yang tercipta untuk kepentingan umum berdasarkan prinsip tersebut, sehingga teknologi informasi sangat bermanfaat bagi semua bidang, termasuk psikologi.
Psikolog dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya erat berhubungan dengan teknologi informasi. Contohnya seperti dalam hal psikolog membutuhkan informasi tentang terapi yang akan digunakan untuk kliennya, selain melalui literatur buku. Psikolog juga dapat men-searching melalui browser sehingga informasi yang dibutuhkan dapat langsung didapatkan, ataupun bergabung dalam forum psikologi untuk saling bertukar pendapat pada para ahli.
Teknologi informasi juga dapat membantu tugas Psikolog dalam pemeriksaan psikologis dan penentuan hasil dari pemeriksaan psikologis. Untuk melihat kecemasan seperti phobia pun dibutuhkan alat-alat dan teknologi seperti alat deteksi jantung. Ada juga alat yang berasal dari ilmu teknologi informasi seperti alat pembaca sidik jari untuk mengetahui pola minat dan bakat anak-anak, sehingga orang tua bisa mengembangan pola minat dan bakat anaknya dengan mengikutkan anaknya pada kursus tertentu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa teknologi informasi berhubungan erat dengan dunia profesi psikologi dalam sudut pandang sosial, kedua ilmu tersebut sama-sama membantu manusia dalam kehidupannya. Dalam prakteknya, psikolog pun membutuhkan teknologi informasi dalam profesinya membantu orang.